Jurnal 18: Memasak dan Makan Bersama sebagai Perayaan

Jurnal 18: MEMASAK DAN MAKAN BERSAMA SEBAGAI PERAYAAN

oleh Yahya Tirta Prewita

 

Menu harian dengan sayur terong gambas jipan dan atau wortel yang hanya direbus sudah cukup menyusahkan selera makanku. Sekalipun sudah kubuat sambal dan dengan itu bisa lebih enak makan, namun tetap terasa ada yang kurang. Dulu aku biasa buat sup buntut, soto daging, makroni skutel, sayur tempe lombok dan lain-lain masakan sedap. Namun sekarang dengan pembatasan jumlah air yang diminum per hari sudah jelas masakan berkuah tak lagi pilihan. Sejak sakit sampai sekarang hampir-hampir aku tak masak, paling menggoreng ikan untuk laukku sendiri. Hari ini aku akan masak, tinorasa!

 

***

Semua suka makan enak. Bila punya uang, mudah saja, beli makanan jadi di restoran. Mahal memang, tetapi jelas rasanya, dan tinggal pilih menu apa yang disuka. Akan tetapi keadaan sakit sangat menyadarkan bahwa tidak semua yang enak itu sehat. Baik bahan yang dimasak, maupun cara memasaknya. Beberapa tahun inipun tiap jajan sudah berpesan, tidak pakai vetsin. Satu malam yang sungguh menyadarkanku adalah saat nonton TV ada wawancara dengan seorang direktur pabrik bumbu masak yang sudah puluhan tahun merajai pasar Indonesia, sehingga hampir tiap masakan seakan tidak lengkap tanpa membubuhkan penyedap masakan produksinya. Direktur ini berasal dari Jepang, tetapi sudah lancar berbahasa Indonesia. Saat ditanya apakah makanan yang disiapkan di rumahnya juga memakai penyedap masakan yang diproduksinya? Dengan ekspresi agak malu-malu, namun jujur, ia mengatakan tidak, karena alasan kesehatan.

Maka pilihan bila mau makan enak namun murah dan sehat hanya satu: memasak sendiri. Bukan hanya masalah menikmatinya. Bahkan juga saat berbelanja ke pasar, menyiapkan, proses memasak, dan tentu saja  saat makan bagiku adalah rekreasi. Membeli bahan-bahan yang dibutuhkan sudah merupakan seni tersendiri. Selama ini aku lebih memilih pasar tradisional daripada toko swalayan. Lagipula aku tak pernah menawar. Sering pergi ke pasar membuatku dikenal oleh para bakul bahwa bila membeli memang aku tak pernah menawar, tetapi bila merasa harga yang diberikan terlalu mahal iya tak akan kuulangi lagi membeli pada bakul yang sama. Jadilah baik di Purwantoro maupun di pasar Demangan Yogya aku punya bakul-bakul langganan.

Aku juga selalu mengajak orang lain di sekitarku, terlebih lagi yang nanti juga akan ikut makan, untuk ikut memasak. Sekalipun bilang tak bisa memasak, atau kalau masak rasanya cemplang, tetapi tentu tak ada yang akan bilang tak bisa mengupas brambang bawang, membersihkan dan memotong-motong sesuai contoh, atau menghaluskan bumbu. Entah caranya wagu atau trampil itu hanya perkara pembiasaan. Memang ada yang kerja cepat sebaliknya ada yang kerja lamban, tak apa. Bagaimanapun juga lebih enak bila ada yang menemani. Bahkan kadang semua pekerjaan menyiapkan bahan bisa kudelegasikan. Jadilah aku chef beneran, yang tinggal plung-plung-plung ke atas panci dan dimasak lalu jadi. Menyenangkan banget.

 

***

Bagian paling menyenangkan tentu saat masakan selesai dan disajikan dalam makan bersama. Biasanya masih di atas kompor aroma yang harum sedap sudah menyebar ke seluruh rumah. Pagi ini aku masak tinorasa, katanya makanan khas Sulawesi. Bahan dasarnya adalah potongan daging yang  dimasak dalam tumisan irisan bawang, brambang, cabe rawit, serai, dan bumbu-bumbu yang dihaluskan meliputi kunir, laos, jahe, diungkep hingga daging masak dan empuk, lalu ditaburi dengan daun kemangi segar. Hmm sedap. Masakan ini tidak berkuah, dan bila pilih dagingnya yang tidak berlemak maka hasilnya juga tidak berminyak, jadi memenuhi syarat untuk diet protein yang kujalani.

Dari pengalamanku, tak ada yang tidak menyukai masakan ini. Baik orang Jawa, Batak, maupun kawan-kawan dengan selera ibunya masing-masing. Bahkan saudaraku dari Papua juga menyukainya. Bila ada yang mengeluh itu mungkin karena kurang pedas, atau terlalu pedas, atau pilih daging ayam dan bukan B2 atau alasan lain yang tidak prinsip.

 

***

Aku sudah bernyanyi lagi , aku sudah rajin menulisi jurnal ini, aku sudah memasak lagi. Yang belum sekarang adalah melanjutkan kerja besar nulis bahan disertasi, kutinggal 2 bulan penuh sama sekali belum menengoknya, tapi akan kumulai lagi minggu ini, sudah tak ada alasan menundanya lagi. Toh tetap bisa dijalani dengan wajib lapor ke ruang hemodialisis dua kali seminggu. Tapi aku ingin menandai semangatku ini dengan bersama-sama makan menu masakanku hari ini.  Tinorasa ayam, spesial sekali.

 

Wisma LPPS, Yogyakarta 24 April 2013

Pemulung Cerita

Tinggalkan komentar